Mega Aulia

Mengapa Konten Video Pendek Tidak Lagi Menarik Bagi Saya

Screenshot 2024-07-23 at 12 Konten Video pendek = Juara. Namun, apakah yang terbaik?

Merajanya TikTok nampaknya membuat media kebakaran jenggot. Di era kejayaan konten singkat, semua media berlomba-lomba untuk menambah konten video, terutama video pendek.

Saya melihat betapa Twitter (sekarang X), yang tadinya mengunggulkan teks, sekarang berubah menjadi tiruan TikTok. Konten video (repost) dan screenshot (repost juga) muncul dimana-mana.

Algoritma tidak lagi menghargai interaksi, karena interaksi yang muncul adalah sesama interaksi buatan atau konten yang tidak sejalan. Manusia sulit ditemukan.

Instagram, konten yang memang sudah visual sejak awal, kini tidak lagi mengutamakan “connecting with friends and family” . Lagi-lagi, Reels menjadi fitur utama.

Banyaknya KOL dan Thought Leaders yang menjadikan instagram sebagai marketing platform juga memengaruhi ini. Reels bukan hanya tempat posting video, namun juga tempat kompetisi untuk menarik perhatian penonton.

Kemarin, saya sudah sempat bahas sekilas di blog ini; tentang bagaimana konten video pendek membuat saya tidak nyaman. Threads menjadi semacam suaka baru bagi orang-orang yang menyukai konten teks. Membaca pendapat-pendapat di Threads, rupanya saya tidak sendirian.

Memangnya, kenapa dengan konten video pendek?

Saya juga pernah terjebak endless scrolling di TikTok. Pernah ada waktu di mana tiga jam waktu saya habis untuk scrolling video pendek yang kontennya kini sudah saya lupakan. Tidak sekali-dua kali, tapi berkali-kali.

Kini, saya nyaris jarang sekali melihat konten video pendek. TikTok tidak lagi terinstal, Instagram hanya saya pakai untuk melihat Insta Story teman-teman, dan YouTube saya pakai khusus untuk video panjang. Malah saya lupa Instagram punya fitur Reels.

Ada beberapa alasan yang membuat konten video pendek kini kurang membuat saya nyaman, dan mungkin sama dengan teman-teman yang sekarang sedang membaca artikel ini.

Distraksi dari konten itu sendiri

Komponen utama video adalah visual gambar, suara, dan teks sebagai pendukung. Untuk mendapatkan informasi, saya harus mengolah ketiga tipe data ini bersamaan. Kalau menonton film, kita fokus pada satu hal dalam waktu panjang, jadi mengolah informasi ini hanya perlu sedikit adaptasi.

Bandingkan dengan video pendek. Ketika kita baru selesai mengolah seluruh data dan mendapatkan informasi, videonya selesai. Pindah ke video lain, proses dimulai dari awal. Belum lagi distraksi dari komentar dan potongan video a la “lanjut part 2!”.

Oh no . Mending saya cari video sejenis dalam bentuk longform daripada harus repot-repot mencari part 2-nya.

Kuantitas tidak sebanding dengan kualitas

Attention span manusia sudah semakin pendek. Waktu yang dimiliki untuk menarik perhatian orang sekarang semakin singkat, bahkan hanya sampai 8 detik. [^1]

Semakin singkat konten, semakin sulit pula menarik perhatian. Karena itu para kreator juga berlomba-lomba memberikan hook , CTA, berbagai macam penarik terbaik untuk penonton.

Video berkualitas bagus? Banyak. Video yang berkualitas tidak bagus? Lebih banyak lagi. Trend riding , penggunaan viral sound tanpa konteks, hanya beberapa di antaranya.

Algoritma For Your Page sebagai hub utama juga berpengaruh pada konten yang muncul. Saat muncul tren A, semua mengejar visibility dengan menggunakan tren serupa. Akibatnya, konten yang diperlihatkan menjadi membosankan dan repetitif.

Hal tersebut sah-sah saja, terlebih karena platform video pendek bukan hanya untuk sharing seperlunya. Ketika fungsi video pendek adalah untuk marketing, maka mengikuti tren adalah hal yang jatuhnya wajib (untuk sekarang).

Makin banyak yang terjun ke ranah ini, semakin saturated isinya. Semakin banyak konten yang harus di”saring” untuk menemukan yang dicari. Singkatnya, kombinasi Algoritma FYP dan meledaknya konten video membuat saya jenuh.

Hilangnya analisis dan insight mendalam

Saat ini, saya masih menonton konten video untuk hal-hal informatif dan edukatif, Khususnya video longform di YouTube. Meskipun masih sering terdistraksi, rasanya lebih nyaman karena hanya menonton satu hal saja dalam satu waktu.

Video pendek mungkin memberikan ilmu dan dan insight menarik dalam waktu singkat. Namun bila kita membutuhkan info yang lebih mendalam, seringkali kita harus mencari lagi info baru di video pendek yang lain. Hal ini membawa kita kembali ke hal pertama: terlalu banyak distraksi.

Pun, ketika memilih video panjang, saya punya kriteria yang ketat: Tidak hanya menjual clickbait, tapi punya isi. Menjelaskan dengan singkat, padat, tepat, dan tidak bertele-tele.

Konten kreator yang memiliki kemampuan seperti ini biasanya adalah penulis yang baik. Lebih oke lagi, mereka juga memiliki dokumentasi yang baik dalam bentuk tulisan. Itulah sebabnya: saya memutuskan untuk kembali menulis dan kembali mencari tulisan yang menarik.

Saya memilih jalan blogging di website pribadi untuk mencari dan menyebarkannya.

Kalau berpikiran sama, kamu nggak sendirian

Blogging mungkin saja mengalami penurunan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Especially after social media taking the thrones. Semua orang eksodus ke media sosial. Influencer tidak lagi harus punya blog pribadi: sebuah profil instagram dengan jutaan pengikut sudah cukup sebagai modal.

Begitu juga dengan website pribadi. Kini, memiliki dan mengelola website pribadi seringkali dibilang “terlalu niat. Untuk sharing konten, lebih baik mulai di media sosial. Lebih baik lagi, mengambil bentuk di mana banyak massa di dalamnya.” Massa terkumpul, saat ini, adalah video pendek.

Saya tidak sepakat. Dari hidup dan matinya berbagai situs di internet, konten tulisan adalah yang paling mudah disimpan atau diselamatkan. Tulisan yang disimpan di media sosial, bisa dengan mudah disimpan terlebih dahulu di blog atau website pribadi, sehingga bisa diarsip untuk pribadi.

“Tapi, bukankah berdasarkan data, konten video pendek adalah yang terdepan?”

Ya, karena itulah saya menulis ini. Saya mencari teman-teman yang sejalan, yang lebih menyukai konten tulisan. Berbagi lewat tulisan. Berbagi tentang keseharian, insight pribadi yang berharga, dan tidak hanya sekadar jualan.

Oh, tentu saya tidak anti dengan jualan—tapi ngerti kan ya, maksud saya… berbagi yang otentik, berbagi ilmu, kehidupan, sambil jualan kalo emang ada yang didagangkan. Saya juga gitu kok 🙂‍↕️

Konten apa pun, awal mulanya adalah menulis

Menulis skenario yang baik adalah bahan untuk membuat video yang menarik dan mudah dipahami. Menulis pikiran di jurnal adalah cara tercepat untuk menyimpan memori, yang nantinya bisa dijadikan untuk bahan sharing dalam berbagai bentuk: presentasi, podcast , buku, bahkan e-course.

Setelah mencoba menikmati dan membuat, memang, konten video is not my forte. At least for now. Saya masih terus mengeksplor apa yang cocok untuk saya, dan menulis-lah simpulan yang saya dapat.


Mungkin nanti saya akan menemukan cara untuk menemukan video pendek yang menarik bagi saya. Mungkin nanti saya akan membuat konten video yang menarik untuk saya. (Yups, pasar saya sekarang adalah saya sendiri).



Tapi untuk saat ini, saya memutuskan untuk fokus ke tulisan. Syukurnya, ada threads yang mendukung saya untuk bertemu dengan like-minded people yang gemar menulis dan membaca. Saya menikmati membaca tulisan mereka, dan menikmati juga menulis ide-ide untuk dibagikan.

Kalau kamu yang membaca artikel ini sejak kemarin ingin belajar ngonten, tapi selalu berhenti sebelum mulai karena terpikir dengan proses pembuatan yang rumit, bagaimana kalau mulai dari menulis dulu?



Salam,


Mega

[^1] Microsoft, 2015, dicantumkan di Wellbrook recovery


reply via email or comment on my guestbook. kalau kamu suka tulisan saya, kamu juga bisa kasih saya jajan. thank you for your support đź’›

#id #learning